Setiap malem selikur atau malam 21 Ramadan, ribuan orang dari berbagai daerah di Indonesia, ngalap berkah di sini. Mereka biasanya berebut tumpeng usai doa bersama dan istighotsah. Setiap malam, khususnya malam Jumat, banyak pula peziarah yang berdoa, membaca Alquran, dan shalat di kompleks makam.
Letak makam Mbah Hasan Munadi berada di Dusun/ Desa Nyatnyono, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Asal-usul nama Dusun Nyatnyono juga tidak terlepas dari kisah perjalanan Waliyullah Hasan Munadi saat menyebarkan agama Islam.
Makam waliyullah Hasan Munadi hingga kini masih terawat dan terpelihara dengan baik. Kini yang dipercaya sebagai pemangku makam tersebut adalah KH Hasan Asy’ari, seorang kiai Muda.
Di Ungaran, salah satu bangunan peninggalan dari Hasan Munadi adalah Masjid Subulussalam Nyatnyono. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Karomah Hasan Munadi tersebut bahkan dipercaya lebih tua daripada Masjid Agung Demak.
Awalnya, Kiai Hasan Munadi dan putranya, Kiai Hasan Dipuro nyantri kepada Sunan Ampel bersama Raden Patah. Setelah dianggap cukup ilmunya, Raden Patah diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk membangun pesantren di Desa Glagah Wangi, Demak, sedangkan Kiai Hasan Munadi dan putranya disuruh untuk kembali ke kampungnya, untuk mengembangkan Islam di daerah Semarang dan sekitarnya. Sebelum mulai melakukan aktivitas dakwah, Kiai Hasan Munadi berkhalwat di Puncak Gunung Sukroloyo untuk meminta petunjuk Allah SWT.
Mendapat Isyarat
Setelah seratus hari melakukan khalwat, Kiai Hasan mendapat isyarat. Dalam khalwatnya itu ia melihat sebuah masjid di salah satu dusun yang terletak di lereng bukit yang kemudian dikenal sebagai Dusun Nyatnyono.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nyatnyono , Nur Rois mengatakan, asal-muasal nama Nyatnyono adalah ‘’menyat langsung ana’’ atau yang berarti “berdiri tahu-tahu sudah ada”. Ini tidak terlepas pula dari hasil khalwat yang dilakukan Kiai Hasan. Setelah mendapat isyarat itu, Kiai Hasan pun keluar dari khalwatnya untuk menuju kampung tempat masjid dalam isyarat itu berada.
Keluarbiasaan terjadi. Atas izin Allah, begitu Kiai Hasan keluar dari tempat khalwatnya, ternyata masjid yang ada dalam isyarat itu benar-benar sudah berdiri tegak di Lereng Gunung Sukroloyo.
Karena peristiwa luar biasa itulah, yang merupakan karamah dari waliyullah Hasan Munadi, pada akhimya masjid dan dusunnya kemudian dinamakan ‘’Nyatnyono’’. ‘’Nyat’’ artinya ‘’berdiri’’ dan ‘’Nyono’’ artinya ‘’sudah ada’’. Maksudnya, berdiri dari khalwat, tiba-tiba masjidnya sudah ada dengan sendirinya.
Dikisahkan, Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan pangkat Tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak. Hasan Munadi kemudian memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 130 tahun. Beliau meninggal dan kemudian dimakamkan di kampung halaman Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.
Terkait karomah Waliyullah Hasan Munadi, Murtadho kiai muda yang tinggal di dekat makam menceritakan, karamah Hasan Munadi tidak hanya sebatas ketika ia masih hidup. Bahkan ratusan tahun setelah wafat, karamah itu masih dirasakan oleh masyarakat. Di antaranya pada waktu Masjid Keramat tersebut direnovasi pada tahun 1985.
Sebagaimana kelaziman para pemangku makam yang hendak merenovasi masjid, Kiai Asmui pemangku makam pada waktu itu melakukan mujahadah selama satu tahun terlebih dahulu. Setelah mujahadah selesai dilaksanakan, dia pun berinisiatif untuk meminta bantuan masyarakat sekitar yang bersedia menjadi dermawan untuk menyumbangkan hartanya.
Masyarakat Nyatnyono memang bisa dibilang kelas menengah ke bawah, hanya beberapa pejabat dan keluarga tertentu yang memiliki kekayaan yang dianggap berlebih di masa itu. Proposal yang ditawarkan, termasuk kepada instansi-instansi tertentu dan beberapa orang kaya yang ada di lingkungan sekitar, kembali dengan tidak membawa hasil apa pun.
Dalam kondisi semacam itu, Kiai Asmui gamang untuk melanjutkan renovasi. Akhirnya ia sowan kepada Kiai Hamid (KH Abdul Hamid Magelang), yang terkenal kewaliannya, untuk meminta pendapat tentang situasi yang sedang dihadapinya. Namun, Kiai Hamid malah menjawab ringan, ‘’Sudah, pulang sana, mulai renovasi masjidnya. Waliyullah Hasan itu kaya. Kuburannya ada gambar uang.’’
Sepulang dari kediaman Kiai Hamid, Kiai Asmui makin bingung memikirkan kata-kata Kiai Hamid. Tapi, karena taat kepada sang guru, ia tidak berpikir panjang lagi. Meski tidak memiliki modal, ia pun mulai merenovasi. Bagian-bagian bangunan masjid yang dinilai sudah tidak layak mulai dirobohkan untuk direnovasi.
Tiba-tiba keanehan kembali terjadi. Seorang peziarah yang sedang sakit kronis, datang ke makam. Usai meminum dan mengusapkan air dari sendang dekat makam ke bagian tubuhnya, diyakini pezirah tersebut sembuh. Sejak kejadian itu, para peziarah semakin banyak berdatangan ke makam Mbah Hasan dan mengambil air dari mata air itu. Dan makin aneh pula, mata air yang semula kecil menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya peziarah yang berebut memanfaatkannya.
Melihat kejadian aneh itu, Kiai Asmui kembali datang kepada Kiai Hamid untuk meneceritakan dan menyatakan fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat itu Kiai Hamid mengisyaratkan bahwa semua itu adalah bagian dari karamah waliyullah Hasan Munadi. Sejak saat itu, untuk merenovasi masjid, tak perlu mengandalkan proposal.
Melihat kejadian aneh itu, Kiai Asmui kembali datang kepada Kiai Hamid untuk meneceritakan dan menyatakan fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat itu Kiai Hamid mengisyaratkan bahwa semua itu adalah bagian dari karamah waliyullah Hasan Munadi. Sejak saat itu, untuk merenovasi masjid, tak perlu mengandalkan proposal.